keterangan
Bliss Park

Senin, 04 Mei 2015

KEMBALINYA DWIFUNGSI TNI ?

OLEH: Christianto Wibisono Pendiri PDBI

Jumat 13 Februari 2015 Radio Elshinta menyiarkan berita Presiden Jokowi telah menandatangai Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2015 sebagai pelaksanaan Undang Undang (UU) No 7 Tahun 2012 tentang Peranan TNI dalam penanganan konflik sosial jika Polri memerlukan bantuan. Momentun putusan ini relevan dengan situasi kegaduhan konflik KPK vs Polri yang telah berlangsung tepat sebulan sejak Abraham Samad dan kawan-kawan menetapkan Calon Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Budi Gunawan sebagai tersangkat empat hari setelah Komjenpol itu diajukan sebagai Cakapolri ke DPR.

Dengan demikian Presiden Jokowi sekaligus dihadapkan pada cumulonimbus politik, bagaikan awan segede gajah yang berlapis lapis menghadang di depan kabinet Kerja yang baru berusia kurang dari 100 hari.

Konflik KPK Polri ditinjau dari sejarah konflik elite politik RI sudah berlangsung sejak zaman demokrasi liberal. Korupsi hanya dalih yang dipakai untuk menghantam lawan politik, sedang inti masalah adalah berebut rezeki kekuasaan yang kemudian juga dipakai untuk pelampiasan syahwat seperti yang terkuak dalam foto mesra oknum terkait.

Perebutan kekuasaan antarelite menimbulkan pemberontakan bersenjata seperti DI/TII/NII oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Daud Bereuh di Aceh. Juga oleh RMS di Maluku dan APRA Westerling dan Sultan Hamid dari Pontianak dan pemberontakan PRRI Permesta yang nyaris memecah Indonesia sebagai negara kesatuan.

Konflik terakhir adalah perang saudara TNI vs PKI 1965 yang secara tragis memakan korban jiwa lebih dari perang kemerdekaan melawan Belanda.
Paralel dengan konflik politik yang bermuara pada pemberontakan dan setelah 1965 berakhir dengan monolit kekuasan dan kematian perdata para lawan politik Soeharto. Berlangsung juga perang melawan korupsi yang diwarnai oleh politicking, saling membela dan saling mengorbankan tumbal secara berbalasan.

Mantan Menteri Perekonomian Iskaq Tjokrohadisuryo dari PNI (Partai Nasional Indonesia) dan mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo dari PRN (Partai Rakyat Nasional, pecahan PNI) dijatuhi hukuman penjara meski korupsinya hanya melanggar UU devisa dan gratifikasi, yang mewajibkan orang melapor bila menyimpan dollar. Kedua menteri itu dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI 30 Juli 1953-11 Agustus 1955) dan diadili pada era Kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi (12 Agustus 1955-24 Maret 1956).

Setelah pemilu, Ali Sastroamijoyo kembali memimpin kabinet yang disebut Kabinet Ali II. Menlunya, Ruslan Abdulgani 13 Agustus 1956 ditahan di bandara Kemayoran sewaktu akan menghadiri konferensi PBB tentang Suez oleh Panglima Kodam Siliwangi Kol AW Kawilarang. KSAD Mayor Jendral Nasution ditelpon oleh PM Ali Sastroamijoyo untuk menghentikan gebrakan militer itu dan mengizinkan Menlu tetap berangkat.

Ibnu Sutowo diberhentikan sebagai Deputy II KSAD 1959 setelah diperiksa oleh Jaksa Agung Gatot Tarunamiharja karena terlibat penyelundupan Tanjung Priok. Buku berjudul Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bicara, ditulis oleh Ramadhan KH 1996 tapi baru diterbitkan akhir 2008 setelah Ibnu wafat 2001. Penulis wafat 16 Maret 2006 dan Presiden Soeharto wafat Januari 2008.

Ibnu menulis bahwa ia harus rela dijadikan tumbal (h 155) untuk melindungi martabat Angkatan Darat. Pada periode yang sama Kolonel Soeharto diberhentikan dari Panglima Kodam Diponegoro karena terlibat barter dan penyelundupan untuk menutup defisit APBN akibat gaji prajurit yang minim dan perlu dana kesejahteraan. Semua panglima kodam praktis mempraktikkan hal yang sama sejak jatuhnya Kabinet Ali II hasil pemilu 1955 pada 14 Meret 1957.

Negara dinyatakan dalam keadaan darurat dan militer menjadi Penguasa Perang Pusat dan Daerah menjelang meletusnya pemberontakan PRRI Permesta 1958.
Setelah Soeharto berkuasa mutlak, maka rezeki minyak dipercayakan kepada Ibnu Sutowo yang akan berkuasa di Pertamina selama 19 tahun dan diberhentikan pada 1976. Dalam buku yang sama Ibnu Sutowo membela diri bahwa gagalnya Pertamina menepati tagihan jatuh tempo adalah karena ada yang menyabot utang jangka panjang yang dijanjikan Pertamina. Terang terangan Ibnu menuduh Mafia Berkeley sebagai lawan yang menjatuhkan dia pada 1976 (h 342).

Sebagaimana telah diulas pada kolom tentang Operasi Budhi 1960 pembrantasan korupsi di Indonesia sulit dituntaskan seperti Hongkong. Sebab yang terlibat di Hongkong hanya polisi yang bisa diatasi dan dikendalikan oleh kekuasaan politik. Sedang di Indonesia konflik KPK vs Poilri dan koruptor menjadi lebih sulit, karena melibatkan politisi dan elite partai berkuasa.

Di Hongkong Gubernur dan Ratu Inggris berdiri jauh di atas polisi dan ICAC. Karena itu konflik Polisi Hongkong vs ICAC 2007 bisa diselesaikan dengan amnesti kepada Polisi Hongkong yang kini menjadi salah satu aparat kepolisian paling bersih didunia.

Di Indonesia, polisi hanya puncak gunung es dari dari korupsi yang dilakukan oleh semua elite tidak terkecuali barisan LSM dan terbukti dari kasus yang menimpa oknum-oknum KPK. Jaksa Agung Hendarman Supanji mengeluh bahwa kasus Bibit-Chandra sebetulnya valid untuk disidangkan, tapi diampuni oleh Presiden SBY. Ya sejarah berulang ketika Nasution harus membebaskan Ibnu Sutowo dan Soeharto dari jabatan struktural. Tapi tidak tega memenjarakan karena memang semua perwira melakukan barter dan penyelundupan untuk mengatasi kekurangan gaji aparatur Negara sipil maupun militer.

KPK bukan malaikat begitu pula Polri dan TNI atau politisi sipil, oknum maupun ketua umumnya. Juga barisan LSM bukan malaikat. Tapi tentu kita semua harus berusaha kembali ke manusia bermoral yang menghormati golden rule positif maupun negatif. Golden rule perlakukan sesama manusia seperti ingin anda diperlakukan dan jangan lakukan hal yang tidak ingin orang lain lakukan terhadap anda.

Hormatilah meritokrasi, kelebihan dan keunggulan seseorang demi kemajuan masyarakat menikmati nilai lebih dan nilai tambah kinerja unggulan dari bakat sesama insan. Berhentilah munafik untuk menuntut orang lain jadi malaikat sementara diri sendiri sama korupsnya dengan lawan politik yang diincar dengan dalih korupsi.

Dalam kaitan ini sebetulnya Revolusi Mental yang didengungkan capres Jokowi mestinya bisa dilaksanakan dengan tuntas oleh Jokowi sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi. Segera harus dicatat bahwa kita tidak ingin Dwifungsi TNI/ABRI kembali untuk menggusur Dwifungsi penguasaha yang sekarang mendominasi elite politik kita.

Kita tidak ingin kembali ke Era Soeharto jilid 2 tapi kita juga sudah muak dengan era dinasti penguasaha. Kita ingin elite kita kembali ke khittah sebagai pemimpin penyelenggara negara, bukan penguasa merangkap pengusaha yang mengeksploitasi jabatan untuk rente birokrasi. Luluskah Jokowi dari ujian Revolusi Mental yang diluncurkannya sendiri?. Sejarah akan menjadi wasit hakim yang afdol.***

0 komentar:

Posting Komentar