keterangan
Bliss Park

Rabu, 20 Mei 2015

KPK-Polri Perlu Bersinergi Menangani Kasus Kematian Aan

WALAUPUN belum ada penjelasan resmi dari para pejabat KPK, tapi sudah dapat dipastikan bahwa tidak satupun dari mereka yang berkeinginan menghalangi kepolisian untuk menyidik kembali kasus kematian Aan yang saat ini disangkakan pelakunya adalah Kompol Drs Novel Bawasdan Cs, penyidik KPK. Demikian juga dengan jajaran Polri tidak satupun penyidiknya berkeinginan mengkriminaliasi KPK.

Bagi banyak kalangan, keberadaan Polri dan KPK itu, masih dianggap dua instansi penegak hukum yang saling bertolak belakang dalam bekerja memberantas kejahatan di negeri ini. KPK masih dianggap hanya sebagai lembaga penindakkan terhadap para pelaku kejahatan korupsi yang banyak diperbuat kalangan birokrasi. Sementara Polri mengurusi banyak tindak kejahatan yang diperbuat oleh masyarakat awam.
 

Dalam hal kinerja, kedua instansi yang sama-sama memiliki personil Polri, betul berbeda. Karena KPK hanya mengurusi masalah korupsi yang diperbuat oleh oknum pejabat pemerintahan sehingga negara dirugikan miliaran rupiah. Sementara polisi menangani hampir semua kejahatan yang terjadi ditengah masyarakat awam , tanpa melihat apakah pelaku kejahatan itu pejabat pemerintah ataupun masyarakat biasa. Semua pelaku kejahatan ditindak oleh kedua lembaga ini bila ditemukan dua bukti permulaan berdasarkan undang-undang yang berlaku di Tanah Air.
 

Dengan demikian kesimpulannya, kedua instansi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam menindak semua pelaku kejahatan di negeri ini agar dapat dicapai suasana aman, tentram dan makmur. Kedua instansi penyidik ini seharusnya sudah saling bersinergi dalam memberantas semua kejahatan yang diperbuat oleh para pelaku tanpa harus melihat apakah yang melakukan pelanggaran itu oknum penyidik Polri berpangkat jenderal polisi atau anggota penyidik KPK yang nota bene adalah personil Polri yang diperbantukan di KPK.
 

Apa yang dilakukan oleh kedua instansi ini dalam bekerja di bidangnya masing-masing sebenarnya sudah bisa dikatakan, sesuai dengan undang-undang yang berlaku. KPK sudah diperkenankan oleh Presiden SBY untuk menangani masalah korupsi di Kakorlantas Polri menyangkut pengadaan peralatan simulator SIM yang merugikan negara ratusan miliar rupiah dengan pelaku seorang jenderal berbintang dua, seorang jenderal berbintang satu dan dua orang perwira menengah Polri. Keempat anggota Polri ini sudah ada ditangan KPK untuk diperiksa lebih jauh sampai mereka bisa di sidangkan di depan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
 

Pemeriksaan keempat personil Polri ini sebenarnya jika dilihat secara terbuka, bukan suatu tamparan bagi jajaran Polri sebagaimana banyak diperbincangkan masyarakat. Tapi ini semua demi tegaknya aturan di negeri ini yang berkeinginan semua pejabat di negeri ini bebas dari tindakan korupsi. Dan kalau masih ada pejabat yang berani bermain-main untuk itu sehingga negara dirugikan ratusan miliar rupiah maka hasil taburannya itu harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan lewat penyidikan KPK. Dan inilah yang tengah dilaksanakan oleh KPK dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik kasus korupsi di negeri ini khususnya dalam menangani kasus korupsi di Kakorlantas Polri.
 

Dengan demikian, jajaran Polri tidak boleh mempersalahkan KPK karena mereka berhasil mengungkap kasus korupsi di lingkup Korlantas Polri dengan memeriksa empat orang personilnya, dua diantaranya berpangkat jenderal berbintang dua dan satu. Polri juga tidak boleh menyimpan dendam dengan menyebut KPK sebagai lembaga yang ingin berkhianat kepada Polri karena sebagian besar penyidiknya adalah personil Polri.
 

Pengungkapan kasus korupsi ini memang terasa sakit buat institusi Polri, apalagi jika nanti sampai ada lagi oknum jenderal polisi yang diketahui terlibat dalam kasus ini dan langsung ditangkap. Mudah-mudahan cukup empat orang saja personil Polri yang dicucuk hidungnya karena kasus ini.
 

Jajaran Polri harus belajar dari kasus ini yang begitu mahal tebusannya sebab sampai membawa empat orang perwira untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, memperkaya diri sendiri. Pembelajaran ini bukan hanya bahwa personil Polri tidak boleh mengambil uang negara ratusan miliar untuk kepentingan pribadi, tapi lebih dari itu bahwa kebobrokan oknum petugas jangan sampai diumbar begitu meluas di masyarakat.
 

Tapi kebobrokan itu harus segera diambil alih persoalannya dengan memeriksa langsung sang pelaku tanpa melihat apakah yang bersangkutan jenderal yang bakal menduduki posisi orang nomor satu di lingkup Polri. Begitu Polri mengetahui adanya kebobrokan yang dilakukan oleh personilnya secepatnya langsung diamankan dan di kandangkan sendiri sehingga KPK tidak mau lagi mencampuri urusan di dalam lingkup Polri.
 

Kalau Polri sudah legowo sekarang ini dengan menyerahkan semua personilnya yang terlibat dalam kasus korupsi di Kakorlantas Polri kepada KPK, seharusnya hal yang sama dilakukan oleh KPK untuk menyerahkan personil penyidiknya yang ditengarai oleh Polri berbuat tindak kejahatan yang menyebabkan seorang warga meninggal delapan tahun lalu.
 

Memang terasa tidak adil, jika KPK masih terus bertahan untuk tidak menyerahkan penyidiknya yang diduga sebagai pelaku kejahatan pembunuhan. “Mengapa KPK harus takut kehilangan seorang penyidik yang ditengarai sebagai pelaku kejahatan pembunuhan” inilah pertanyaan yang banyak dimunculkan oleh kalangan masyarakat Bengkulu dalam beberapa kali pertemuan dengan penulis.
 

Pertanyaan ini belum terjawabkan oleh pimpinan KPK selain daripada kenyataan yang ada bahwa pimpinan KPK menyebut usaha penangkapan dua orang penyidiknya yaitu Kompol Drs Novel Baswedan dan dan Ajun Komisaris Polisi Yuri Siahaan merupakan bukti adanya kriminalisasi KPK. Pernyataan yang belum dicabut itu menyentakkan banyak kalangan yang mencoba menginvestigasi kasus pembunuhan delapan tahun lalu.
 

Sebab dari investigasi yang dilakukan itu termasuk Objective News di Bengkulu awal Oktober lalu didapat data bahwa keterlibatan Iptu Novel dan Ipda Yuri Siahaan ketika mereka menjabat sebagai Penyidik Polres Bengkulu dalam peristiwa meninggalnya Aan di Kantor Polres Bengkulu sangat nyata. Mereka berdua bersama tiga anak buahnya membawa keenam tersangka untuk dieksekusi ditembak kakinya di pinggir pantai Bengkulu.
 

Apalagi setelah ditemukan bukti bahwa sebagai perwira lulusan Akademi Kepolisian, mereka berdua tidak meminta kepada dokter rumah sakit Polri M Yunus untuk mengotopsi mayat korban. Apa alasannya tidak jelas. Tapi dari sini sudah dapat disimpulkan bahwa kedua penyidik Polres Bengkulu ini sudah memperlihatkan perilaku yang menyimpang sebagai seorang perwira. Sebab dari standar operasi Polri, setiap mayat yang diduga korban kejahatan, harus diotopsi oleh tim dokter atas permintaan pihak penyidik agar dikemudian hari tidak timbul gugatan seperti yang terjadi sekarang.
 

Ditambah lagi dengan adanya janji dari Novel kepada kedua orang tua Aan bahwa ia akan membuka kasus penembakan dengan menangkap serta memecat anak buahnya yang terlibat dalam peristiwa ini.

Untuk itulah KPK disarankan untuk bersinerji dengan Polri agar dapat membuka ulang kasus ini supaya hasil pekerjaan kedua personil Polri ini tidak dianggap cacat hukum kala disidangkan di pengadilan. Sebab aturan yang ada menyebutkan, penyidik yang memeriksa tersangka tidak boleh terlibat tindak kejahatan. Apa jadinya nanti jika pengadilan mengabulkan keinginan pengacara tersangka simulator SIM bahwa hasil penyidikan kedua perwira ini dianggap cacat hokum karena mereka dinyatakan buron oleh Reserse Polda Bengkulu. (U-2)

0 komentar:

Posting Komentar